Perilaku Meniru dari kacamata psikologi

Pernakah teman-teman merasa bahwa seseorang sering kali meniru dirimu, mulai dari penampilan, cara berbicara bahkan sampai kesukaan melihat objek yang kita sukai? 

yuk coba kita pelajari dari kacamata psikologi

.

.

.

Mengapa orang yang sudah dewasa masih suka meniru orang lain? Padahal yang saya ketahui proses imitasi hanya dilakukan di tahap kanak-kanak sampai remaja,. Apakah mereka masih labil?

Perilaku seperti ini namanya “” dan merupakan perilaku spontan dan bawah sadar yang sangat wajar dari manusia, termasuk manusia dewasa. Proses imitasi betul terbangun pada tahap kanak-kanak sampai remaja tetapi sebagai makhluk sosial manusia akan selamanya tanpa kita sengaja selalu meniru orang lain utamanya mereka yang kita anggap lebih punya power atau lebih berpengaruh.

Perilaku seperti ini diatur oleh suatu sistem dalam otak namanya “”, yang berada di premotor cortex.

Ini adalah sistem otak yang sangat rumit, melibatkan banyak sekali area otak dan banyak sekali perilaku manusia yang saling berhubungan. Tapi karena konteksnya hanya mirroring, saya coba sederhanakan ya.

Mirroring atau imitasi sebenarnya merupakan insting belajar setiap manusia. Manusia mengobservasi perilaku manusia lain dalam menghadapi suatu situasi, lalu informasi ini disimpan dalam otak sebagai pengetahuan dan suatu hari nanti bila dibutuhkan, misalnya ketika dihadapkan pada situasi yang sama, pengetahuan ini akan dimunculkan lagi dan otak memerintahkan otot-otot kita untuk melakukan yang hal sama, mengharapkan hasil/keberhasilan yang sama dengan orang yang kita tiru tersebut. Coba bayangkan bila manusia tidak punya kemampuan ini, maka untuk setiap situasi yang dihadapi manusia, kita harus selalu coba-coba karena tidak ada referensi sebelumnya, bila solusi A tidak berhasil, berikutnya kita coba solusi B, dst. Repot dan berbahaya sekali, maka Tuhan Maha Memelihara menyediakan sistem otak yang mempermudah kita, kita bisa belajar dari orang lain, bisa langsung berhasil meskipun kita belum pernah menghadapi situasi tersebut sebelumnya.

Selain itu, mirroring juga sangat kita butuhkan dalam kehidupan sosial dalam kelompok. Perilaku yang sama atau senada membuat manusia lebih dikenali dan diterima dalam suatu kelompok atau suatu hubungan. Juga membuat manusia lebih mampu berempati satu dengan yang lainnya. Ada ungkapan “You are who your friend are” sama sekali tidak salah karena orang berkumpul dengan orang yang perilakunya senada atau orang tanpa disadari akan makin senada perilakunya karena ini membuat mereka lebih survive, lebih aman.

Saya jadi ingat seri Crowd Control di National Geographic yang pernah menampilkan eksperimen sosial kecil-kecilan yang menunjukkan betapa mudahnya manusia mengimitasi perilaku orang lain. Di suatu taman hiburan, tim memasang papan “Antri Di Sini” beserta tali pengatur antrian. Awalnya tidak ada yang mempedulikan papan tersebut, tidak ada yang mau antri. Tetapi kemudian tim menempatkan 1 orang kru untuk berdiri di sana seakan-akan sedang antri, lalu orang mulai bertanya-tanya “Ini antrian apa?” “Gak tahu, cuma disuruh antri nih, mungkin ada sesuatu yang seru kali.” Daaannn, orang mulai antri. Percaya gak percaya, antrian makin mengular, bahkan mereka rela antri sampai lebih dari 1 jam untuk sesuatu hal yang gak jelas sama sekali.

Akhirnya antrian disuruh maju, semua orang bahagia. Mereka diminta berjalan mengikuti pemimpin kru, keliling-keliling taman bermain, entah kemana. Di suatu tempat, kru memasang garis penanda di lantai, lalu 1 orang kru di dalam antrian melompati garis tersebut tanpa diperintah, tiba-tiba semua orang di belakang kru itu ikut melompati garis itu juga tanpa tahu tujuannya.

Saya merasa eksperimen kecil ini lucu sekali, menunjukkan betapa rentan dan labilnya manusia. 

Bagaimana perasaanmu jika ada orang lain yang menirumu (bisa dalam hal apa saja)?

Apa anda salah satu orang yang masih takut mengambil resiko?

Mengapa ada orang yang menyerang orang lain secara pribadi?

Apa hal yang tidak disukai banyak orang tapi kamu sukai?

Mengapa cowok suka bermain mata dengan cewek lain, padahal ia sudah berkomitmen dengan cewe lain? Apakah karena cowok senang jika ada orang lain yang menyukai mereka?

Ada sebuah kalimat yang kebenarannya sangat terbukti

Semakin besar, usia semakin bertambah, tapi kedewasaan adalah pilihan. Ia bisa saja bertambah, stagnan, atau bahkan merosot.

Dalam konteks usia dewasa (20–49), kedewasaan tidak selalu ada. Masalahnya, kedewasaan itu proses terbentuknya krusial mulai sejak individu mengetahui konsep benar dan salah. Saat itulah peran sosialisasi yang baik sangat sangat dibutuhkan. Orang tua, teman terdekatnya, sekolah, guru, dan lingkungan rumahnya menjadi sangat penting. Disini individu mulai belajar untuk mengenal apa saja yang terjadi dalam masyarakat.

Perkara meniru orang lain tentu berhubungan erat dengan masa pembentukan jati diri dan identitas individu. Dalam Psikologi, masa ini dikenal dengan Identity vs Confusion dalam Erik Erikson Psychososial Development Stage. Jika orang tersebut berhasil melewati masa ini dengan baik, maka dia akan memiliki identitas, dan jika tidak, maka individu tersebut akan seperti ‘kehilangan arah' dan menjadi bimbang. Tahap ini (usia 12–21 tahun) sesungguhnya adalah tahap dimana individu belum bisa (sepenuhnya) mandiri, maka peran orang tua serta lingkungan tadi berkontribusi besar. Pembentukan identitas juga dapat berhasil jika individu diberikan kebebasan bereksplorasi dan berekspresi sewajarnya, dengan batasan-batasan tertentu, seperti tidak merugikan bagi orang lain.

Disini, orang tua harus belajar baik-baik dengan kondisi psikologis dan emosional anak. Pada tahap ini, sesungguhnya individu membutuhkan bimbingan namun dengan cara yang ‘berbeda'. Orang tua seyogyanya mampu melihat dan mempelajari bagaimana caranya untuk tetap mendampingi dan menasihati anak tanpa harus terlihat ‘menyebalkan' oleh anak, karena sesungguhnya jika anak telah menganggap ‘menyebalkan' ia tak akan sungkan-sungkab untuk mengabaikannya. Walaupun kadang terlihat tidak baik, itulah yang terjadi. Gejolak emosi masih kental pada usia ini. Siapa yang harus menolerir? Saya kira orang tua adalah jawabannya.

Maka kadang saya merasa miris dan heran mengapa orang tua suka sekali melepas tangan demi anggapan anak tersebut sudah dewasa. Lalu dengan orang tua yang overprotektif pada anaknya? Bukankah itu bagus karena artinya orang tuanya tidak lepas tangan? Tidak, tidak juga. Jika anak selalu melihat orang tuanya protektif sekali, maka ia dapat merasakan variasi emosi, yaitu sedih, ragu pada diri sendiri, marah, atau tak berdaya. Variasi emosi inilah yang nantinya bisa mengarahkan anak pada perilaku perilaku tertentu yang kadang tidak kita inginkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bimbingan Kelompok